“Hey
kamu, Kesayanganku, apa kabarmu? Setelah berhari ini kita tak saling sapa,
adakah kamu tengah menabung rindu seperti halnya aku?”
Apa
kabar sayang??
Apa
kamu sudah sarapan??
Untukmu yang sedang sibuk bekerja keras disana,
Saya yang tak bisa apa-apa dan selalu menyita waktumu
untuk diperhatikan
Saya yang pendek akal untuk hanya memahami pekerjaan
sulit yang kau emban
Saya yang hanya bawel meminta ini itu untuk kau
kabulkan
Saya yang kadang kangen gak ketulungan dan tak pernah
kau inginkan
Saya yang sering mengemis dan membuatmu geram
Saya yang banyak menyita waktu dan pikiranmu di kala
tenang
Maafkan saya sayang
Ada kolom kosong
di hatiku yang selama ini aku simpan, dan menjadi retak dan tak kuharapkan. Ya,
saya yang bisanya hanya nangis tanpa mau kau tau. Dan tanpa pernah aku ingat
kau kah itu, kali terakhir yang tiba memberikanku sandaran?.
Aku akui, aku
takut, khawatir, tak pernah sedikit pun terlintas bahwa kita akan menyakiti
seperti ini (lagi). Lantaran takut kehilangan, aku memaksa diriku sendiri
supaya lebih keras berusaha alih-alih demi bisa menyelesaikan. Tapi, lihat apa
yang justru terjadi. Kita selalu sama-sama emosi. Setiap apa yang ingin aku sampaikan,
dan mungkin mulutku yang tak cakap mengungkapkan dan malah membuat aku kena
marah, lalu kau tidur kelelahan, aku yang hanya menangis sendiri tanpa kau
harapkan. Aku sering tak bisa mengendalikan diri. Mungkin menurutmu masalah
selesai. Tapi tidak sayang. Aku yang menahan sesenggukan di tengah malam
menyimpan sakit yang tak pernah kuharapkan, tepatnya tanpa sandaran. Aku
cengeng, kan…
Memintamu ini itu
dan begitu rewelnya aku. Aku jarang menyadari sibukmu. Kangenku pun menjadi
belenggu. Ampuni aku. Kadang ingin berbagi keluh pun aku takut. Bukan takut
mengganggumu, tapi takut tak sempatnya kau mendengarkan keluh kesah-ku. Sayang,
sehari ini temanku berbicara santai, panjang lebar dengan kekasihnya. Aku lupa
padatnya dan tak tepatnya waktu kita berdua. Ampuni aku.
Ketika aku kangen
di waktu tak tepat, kau marahi aku. Kala aku sarankan merapihkan kado yang kau
kirimkan, kau bilang aku tak apresiatif, Kala kusarankan kau hiasi rumahmu
hingga pantas dipandang, kau bilang aku kedunyan, sangat menyakitkan. Kala
aku baru bisa mengucap apa-apa yang tadinya kuharapkan, kau bilang aku tak
rasional. Kala aku sedang labil ingin kau sebagai sandaran, kau bilang aku tak
mengerti keadaan. Entah menulis begini akan membuat masalah baru untukmu, aku
hanya tak punya tempat berbagi. Ampuni
aku sayang…
Sayang, aku harus
bagaimana???
Aku yang banyak
mengkritisimu seolah aku sudah berbuat banyak. Urusan sampul, urusan kado,
urusan hiasan rumah, dan segala yang aku lontarkan. Itu hanya menambah rentetan
masalah yang tanpa sadar aku gulirkan. Ampuni aku.
Harus kuakui, Guyonanmu
yang ahir-ahir ini tak lagi menertawakan, Senyummu juga tak lagi menenangkan, Lalu
mendengarmu tak juga menentramkan, Menatapmu menjadi menyakitkan. Sekali lagi
ampuni aku. Hatiku tak lagi sembuh. Aku hanya butuh kesendirian.
Untukmu cintaku,
terimakasih telah banyak waktu kau luangkan untuk pribadi seperti aku,
terimakasih telah menerimaku dengan buruknya laku dan parasku.
Untukmu
kesayanganku, ampuni aku menyiksamu dengan rentetan kekurangan diriku.
Untukmu pria yang
aku sayangi, maaf maaf maaf atas segala keluh yang tak pernah berhenti ku beri.
Maafkan…
Sejenak berpisah,
bukan berarti kita sudah menyerah. Aku dan kamu bukannya tak mau berusaha, tapi
usaha yang tak putus-putus justru membuat kita kelelahan luar biasa. Kamu yang
sangat aku cintai, kini justru jadi orang yang paling ingin aku hindari. Aku
tak mau berdebat, dan kembali saling menyakiti hanya karna kurang dewasanya aku.
Aku pikir dengan begini aku tak lagi berharap-harap menunggu deringan telpon
darimu. Aku pikir dengan begini aku tak lagi merecoki kesibukanmu. Jadi benar,
semuanya hanya ada aku dan doa-doaku sendiri.
Aku setuju, jika
manusia memang harus kehilangan terlebih dahulu sebelum mensyukuri apa yang
sudah dia miliki. Tentu kamu setuju denganku, Sayang. Kamu pun merasakan bahwa
hubungan kita memang perlu sejenak rehat. Aku dan kamu sama-sama butuh
kebebasan. Menikmati kesendirian, merasakan kehilangan, hingga bisa kembali
saling merindukan. Kita pun berhak merasakan kebahagiaan-kebahagiaan baru
ketika hubungan antara aku dan kamu tak lagi bisa membuat kita tersenyum
gembira.
Aku yakin ini
hanya karena jauhnya aku dan kamu, juga kurang dewasanya aku. Maafkan
sayang, saya baik-baik dan selalu mencintaimu, Kita akan segera menikah kan? J !!