*Ternyata, Aku
dibesarkan dikalangan pengusaha yang tangguh””
Nur
Faizah adalah nama yang dianugerahkan kedua orang tuaku. Berharap aku menjadi
pribadi yang membawa cahaya keberuntungan bagi orang-orang sekitarku. Aku terlahir
menjadi putri ke-2 dari ke-empat saudara kandungku. I’anatun Nisa’ kakakku, dan
dua orang adikku Ibadur Rohman dan Wildan Wafiqi.
Ayahku
adalah seorang pengusaha barang-barang antik, dan masih ku ingat kita dulu
hidup di rumah kontrakan di dekat jalan raya Kraton Pasuruan. Ketika itu aku
masih TK bersama kakakku. Dan Ibad yang masih bayi, Wildan belum terlahir. Saat
itu hidup kami sangat berkecukupan dan akhirnya ayah bisa menyandang gelar
haji-nya dari hasil jerih payah beliau. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga
yang baik.
Namun
kehidupan kami itu tak bertahan lama, karena ayah mengalami kecelakaan dahsyat
saat mengantarkan barang kirimannya pada seorang konsumen. Kecelakaan tersebut
mengakibatkan beliau tak bisa lagi bekerja karena cacat fisik seumur hidup.
yang ku tahu supir yang duduk disebelahnya terpaksa harus meregang nyawa
seketika itu juga. Sangat bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk memiliki
seorang ayah saat itu. Sekalipun pernah tebesit, ayahku bukan lagi seperti ayah
teman2ku yang memiliki fisik sempurna. Amputasi kaki adalah keputusan dokter
yang harus diterima abiy. Namun abiy tak mau kakinya hilang begitu saja,
beliaupun harus menjalani perawatan yang amat sulit akibat tak mau diamputasi.
Ayah
tak lagi bekerja bertahun-tahun, harta benda kami telah banyak habis terjual
untuk pengobatan beliau yang kondisinya sangat parah. Kami-pun harus pindah ke
rumah nenek. Selama kurang lebih 5 tahun ayah tak lagi bekerja, semangat beliau
mulai lusuh. Dan ibuku yang akhirnya menjadi tulang punggung utama keluarga
kami. Umiy memulai karirnya dengan berjualan baju di pasar tradisional di
daerah Sidogiri. Ayah yang merasa bersalah memaksa umiy untuk ikut bekerja.
Tapi tak bisa, ayah hanya bisa berjalan dengan kursi roda dan tak lama kemudian
dengan egrang. Ayahku seorang yang tak mudah putus asa, namun beliau juga orang
yang keras kepala. Keras kepala untuk terus bekerja. Dengan keadaan yang
cacat, Beliau rela menjadi petani yang mengolah sawahnya sendiri di tegalan di
belakan rumah. Hampir setiap hari beliau telaten merawat sawah-sawahnya.
Mengairi, memupuk dan lainnya. Jika pekerjaannya tak mampu dilakukan sendiri
terpaksa beliau membayar orang lain. Pernah ku lihat tengah malam beliau keluar
rumah dengan memakai tongkatnya hanya untuk mengairi sawah. Seringkali begitu
yang dilakukan. Namun, Tak ada yang lebih menggetarkan, kecuali semangat beliau
yang hidup kembali, dan mulut yang tak hentinya bertasbih. Setiap kali yang
kulihat, seusai sholat yang hanya bisa dilakukan dengan keadaan duduk,
tangannya menengadah lebar sambil menangis, beliau memanjatkan doa.
Subhanallah aku memiliki ayah yang luar biasa.
Jerih
payah beliau ini semakin menjadi ketika kondisi fisik beliau semakin membaik.
Kehidupan kami semakin membaik ketika kedua orang tuaku terus bekerja dan tak
kenal lelah. Kadang ayah sering cek-cok dengan ummiy, yah gara2 ummiy tak mengizinkan
ayah bekerja. Ummiy sangat berhasil sekalipun hanya sebagai penjual baju-baju
di pasar. Dan hasil jerih payah ummiy mengantarkan beliau untuk naik haji.
Wildan wafiqi adikku yang ganteng terlahir setelah setahun keberangkatan ummiy
haji. Namun tak berselang lama kemudian ayah mulai lunglai dengan kondisinya.
Akibat keras kepalanya beliau yang ingin terus bekerja dan tak memikirkan
kondisi pribadi. Dari saat itu ayah mulai sakit, dan beliau meninggalkan kita
yang masih membutuhkan kasih sayang beliau. Abiy yang luar biasa tak kenal
lelah, abiy yang khusyuk yang slalu memanjatkan do’a untuk kami. Abiy yang
kemana-mana bawa tasbih dengan mulut yang jarang terdiam. Beliau wafat dengan
tenang dengan wajah yang tersenyum ketika ku sempatkan mencium jenazahnya
sesaat sebelum dimakamkan.
Ummiy…
beliaulah kini harus bekerja sendiri bagi ke empat putra putrinya yang masih
kecil-kecil. Aku ditinggal abiy ketika kelas 3 madrasah tsanawiyah. Dan kakak
perempuanku di pesantren salafiyah di pasuruan. Cobaan bagi ummiy amat
berat lagi, karena persaingan dagang di pasar semakin banyak. Tak mengenal
lelah, dan pantang menyerah, itulah semboyan abiy dan ummiy sekalipun tak
pernah dicetuskan dengan kata-kata. Tak berselang lama dari wafatnya abiy,
ummiy yang masih dalam masa iddah harus diusir oleh bulekku (tante) dari rumah
abiy. “perebutan warisan” inilah kedok utamanya. Sebelum wafatnya abiy, tahu
beliau akan meninggal sebenarnya sudah menulis wasiat dan mengumpulkan
saudara-saudara beliau dan warisan sudah terbagi dengan aman, dan sesuai dengan
keinginan kakek nenek (dari abiy). Namun yang kutahu bulek adalah orang kaya, 2
rumah dia sudah miliki sendiri, dan mengadopsi satu anak, tak punya anak
kandung satupun. Tapi sifat syetan yang serakahnya itu
bertengger di hatinya. Saat itu, setelah 40 hari wafatnya abiy, kami sekeluarga
tak mau lagi berdebat kusir dan langsung meninggalkan rumah nenek yang
diwariskan pada abiy. Umiy, neng Aan, aku, Ibad, dan wildan yang masih berumur
kurang dari setahun akhirnya tinggal bersama nenek (dari ibu). Hanya Allah
sebak-baik penolong, ummiy yang sabar menerima cobaan mulai tangguh dan
menerima.
Yah,
balasan Allah mudah sekali datang, dan imbalannya tak tanggung-tanggung
besarnya, ummiy kembali Berjaya dari hasil pasar dengan memiliki satu rumah
dekat rumah nenek di desa Ngempit. Bulekku tetap tak berani menempati rumah
kami (di Dhompo),karena surat-surat yang jelas. Informasi terakhir yang kami
terima, bulek yang mengusir kami sekeluarga itu mengalami sakit dan juga
menjadi TKW di negri orang. Aku pun meiliki kesempatan memperoleh besiswa ke
PTN ternama di bogorr. Sungguh, Maha Besar Allah…
Tak
hanya berjualan baju, ummiyku terus merintis usaha baru yang beliau kelola
sendiri, berjualan mie yang digoreng sendiri, berjulan pakan ternak, berjualan
kayu-kayu bakar. Allah datangkan seorang ayah baru bagi kami, sekalipun aku
sebenarnya kurang ikhlas menerima beliau, namun, hmm cukup membantu pekerjaan
ummiy.
Kau
tahu? Disaat yang lain masih bersantai sehabis sholat shubuh, ummiy sudah
menyiapkan sarapan, berangkat ke pasar hingga tengah hari,
Kau
tahu? Disaat yang lain pulas dengan tidur siangnya, ummiy mulai ke dapur untuk
menggoreng mie yang dibungkusnya rapih hingga malam hari seharga Rp 500-an/bungkus
.
Dan
kau tahu? Kami juga harus melayani orang-orang yang beli kayu dan pakan ternak,
di toko yang di buka ummiy di samping jalan raya. Dan sekarang pun ummiy dan
ayah baruku menjual bawang merah Rp 7.000/Kg, menjual aqua Rp 10.000/kardus. Serasa
rumahku juga tokoku….
Ohhhh…
Subhanallah… baru tersadar, aku dilahirkan dari darah pengusaha yang tangguh
yang tak kenal lelah. Bukan pengusaha yang memiliki asset saham yang memiliki
bangunan menjulang tinggi sebagai kantornya. Tapi dengan usaha yang sederhara,
bebas korupsi, dengan penanganan keuangan yang ala rumah tangga. Dan sangat
menakjubkan….
“aku
yang nantinya akan mengembangkan semua jasa juangmu ummiy-abiy !!!” Amiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar