Selasa, 24 Maret 2015

Untuk mu yang Aku Cintai.


“Hey kamu, Kesayanganku, apa kabarmu? Setelah berhari ini kita tak saling sapa, adakah kamu tengah menabung rindu seperti halnya aku?”
Apa kabar sayang??
Apa kamu sudah sarapan??


Untukmu yang sedang sibuk bekerja keras disana,
Saya yang tak bisa apa-apa dan selalu menyita waktumu untuk diperhatikan
Saya yang pendek akal untuk hanya memahami pekerjaan sulit yang kau emban
Saya yang hanya bawel meminta ini itu untuk kau kabulkan
Saya yang kadang kangen gak ketulungan dan tak pernah kau inginkan
Saya yang sering mengemis dan membuatmu geram
Saya yang banyak menyita waktu dan pikiranmu di kala tenang
Maafkan saya sayang

Ada kolom kosong di hatiku yang selama ini aku simpan, dan menjadi retak dan tak kuharapkan. Ya, saya yang bisanya hanya nangis tanpa mau kau tau. Dan tanpa pernah aku ingat kau kah itu, kali terakhir yang tiba memberikanku sandaran?.

Aku akui, aku takut, khawatir, tak pernah sedikit pun terlintas bahwa kita akan menyakiti seperti ini (lagi). Lantaran takut kehilangan, aku memaksa diriku sendiri supaya lebih keras berusaha alih-alih demi bisa menyelesaikan. Tapi, lihat apa yang justru terjadi. Kita selalu sama-sama emosi. Setiap apa yang ingin aku sampaikan, dan mungkin mulutku yang tak cakap mengungkapkan dan malah membuat aku kena marah, lalu kau tidur kelelahan, aku yang hanya menangis sendiri tanpa kau harapkan. Aku sering tak bisa mengendalikan diri. Mungkin menurutmu masalah selesai. Tapi tidak sayang. Aku yang menahan sesenggukan di tengah malam menyimpan sakit yang tak pernah kuharapkan, tepatnya tanpa sandaran. Aku cengeng, kan…

Memintamu ini itu dan begitu rewelnya aku. Aku jarang menyadari sibukmu. Kangenku pun menjadi belenggu. Ampuni aku. Kadang ingin berbagi keluh pun aku takut. Bukan takut mengganggumu, tapi takut tak sempatnya kau mendengarkan keluh kesah-ku. Sayang, sehari ini temanku berbicara santai, panjang lebar dengan kekasihnya. Aku lupa padatnya dan tak tepatnya waktu kita berdua. Ampuni aku.

Ketika aku kangen di waktu tak tepat, kau marahi aku. Kala aku sarankan merapihkan kado yang kau kirimkan, kau bilang aku tak apresiatif, Kala kusarankan kau hiasi rumahmu hingga pantas dipandang, kau bilang aku kedunyan, sangat menyakitkan. Kala aku baru bisa mengucap apa-apa yang tadinya kuharapkan, kau bilang aku tak rasional. Kala aku sedang labil ingin kau sebagai sandaran, kau bilang aku tak mengerti keadaan. Entah menulis begini akan membuat masalah baru untukmu, aku hanya tak  punya tempat berbagi. Ampuni aku sayang…
Sayang, aku harus bagaimana???

Aku yang banyak mengkritisimu seolah aku sudah berbuat banyak. Urusan sampul, urusan kado, urusan hiasan rumah, dan segala yang aku lontarkan. Itu hanya menambah rentetan masalah yang tanpa sadar aku gulirkan. Ampuni aku.

Harus kuakui, Guyonanmu yang ahir-ahir ini tak lagi menertawakan, Senyummu juga tak lagi menenangkan, Lalu mendengarmu tak juga menentramkan, Menatapmu menjadi menyakitkan. Sekali lagi ampuni aku. Hatiku tak lagi sembuh. Aku hanya butuh kesendirian.

Untukmu cintaku, terimakasih telah banyak waktu kau luangkan untuk pribadi seperti aku, terimakasih telah menerimaku dengan buruknya laku dan parasku.
Untukmu kesayanganku, ampuni aku menyiksamu dengan rentetan kekurangan diriku.
Untukmu pria yang aku sayangi, maaf maaf maaf atas segala keluh yang tak pernah berhenti ku beri.
Maafkan…

Sejenak berpisah, bukan berarti kita sudah menyerah. Aku dan kamu bukannya tak mau berusaha, tapi usaha yang tak putus-putus justru membuat kita kelelahan luar biasa. Kamu yang sangat aku cintai, kini justru jadi orang yang paling ingin aku hindari. Aku tak mau berdebat, dan kembali saling menyakiti hanya karna kurang dewasanya aku. Aku pikir dengan begini aku tak lagi berharap-harap menunggu deringan telpon darimu. Aku pikir dengan begini aku tak lagi merecoki kesibukanmu. Jadi benar, semuanya hanya ada aku dan doa-doaku sendiri.

Aku setuju, jika manusia memang harus kehilangan terlebih dahulu sebelum mensyukuri apa yang sudah dia miliki. Tentu kamu setuju denganku, Sayang. Kamu pun merasakan bahwa hubungan kita memang perlu sejenak rehat. Aku dan kamu sama-sama butuh kebebasan. Menikmati kesendirian, merasakan kehilangan, hingga bisa kembali saling merindukan. Kita pun berhak merasakan kebahagiaan-kebahagiaan baru ketika hubungan antara aku dan kamu tak lagi bisa membuat kita tersenyum gembira.



Aku yakin ini hanya karena jauhnya aku dan kamu, juga kurang dewasanya aku. Maafkan sayang, saya baik-baik dan selalu mencintaimu, Kita akan segera menikah kan? J !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar