Sabtu, 20 Oktober 2012

Menghitung Efisiensi PG Wonolangan Probolinggo

  • Formula Hitungan Efisiensi Produksi 
Metode ISSCT (International Society of Sugar Cane Technologists)
§  Mill Extraction (ME)                    =  Ton Pol Nira Mentah    x 100%
                                                             Ton Pol Tebu

§  Boiling House Recovery (BHR) =      Ton Pol GKP           x 100%
                                                      Ton Pol Nira Mentah

§  Overall Recovery (OR)                 = ME  x  BHR  x  100%

Efisiensi Produksi          
            Efisiensi Produksi adalah kemampuan menghasilkan output pada suatu tingkat kualitas tertentu dengan biaya yang lebih rendah. Menurut P3GI (1997), salah satu langkah yang perlu ditempuh dalam pembangunan industri gula adalah melalui peningkatan efisiensi pabrik gula. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah : (1) pabrik yang sudah tua, (2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling yang kurang dari 2.000 ton tebu per hari dan (4) jam berhenti giling yang tinggi. Sementara menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2001), kendala utama yang dihadapi pabrik gula saat ini adalah : (1) rendahnya kualitas bahan baku, (2) rendahnya kapasitas sebagian pabrik serta rendahnya efisiensi pabrik (tingginya jam berhenti dan (3) tingginya biaya produksi
            Menurut P3GI (1997), terdapat lima kriteria pokok yang dapat dijadikan pedoman awal untuk menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :
1. Kesulitan memperoleh lahan.
2. Pengembangan lahan tebu mengarah ke lahan kering sehingga biaya angkut tebu meningkat.
3. Jumlah produksi gula kurang dari 250.000 kwintal per tahun, sehingga harga pokok per unit hasil
   masih mahal.
4. Mutu bahan baku belum optimal sehingga biaya produksi pabrik gula tidak efisien.
5. Kapasitas giling masih banyak yang dibawah 2000 ton tebu per hari.

Berdasarkan lima kriteria pokok tersebut terdapat indikasi bahwa efisiensi pabrik gula Indonesia masih rendah khususnya pabrik gula milik BUMN yang dapat disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien (Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 1997). Dari kelima kriteria tersebut PG Wonolangan temasuk dalam pabrik gula yang belum cukup memenuhi kriteria efisien. Selain dengan kriteria tersebut, efisiensi produksi dapat diketahui dengan melakukan perhitungan efisiensi pabrik.

Dalam proses ekstraksi dan kristalisasi sukrosa di PG yang kemudian menghasilkan gula pasir dibutuhkan
suatu parameter yang bisa dijadikan ukuran apakah proses tersebut sudah berjalan dengan baik atau belum. Secara keseluruhan ukuran yang digunakan disebut overall recovery (OR). OR ini mencerminkan efisiensi PG karena menggambarkan jumlah gula yang bisa diperoleh dari tebu. Overall recovery merupakan hasil kerja gabungan antara stasiun gilingan dengan stasiun pengolahan. Hasil kerja stasiun gilingan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dinyatakan dalam mill extraction (ME), yang menggambarkan persentase gula yang berhasil dieks­traksi dalam nira mentah terhadap gula yang terkandung di dalam tebu. Hasil kerja stasiun pengolahan dinyatakan dalam boiling house recovery (BHR) yang mencerminkan persentase gula riil yang diperoleh terhadap gula yang berada dalam nira mentah.  Data pengawasan pabrik dipakai untuk mengetahui gambaran tentang jumlah gula yang masuk, yang dihasilkan, serta yang hilang dalam proses. Pada dasarnya terdapat dua macam metode perhitungan efisiensi pabrik, yaitu dengan metode jawa yang berdasarkan pada nilai brix, dan metode ISSCT (International Society of Sugar Cane Technologists) yang berdasarkan pada nilai pol.

Adapun perbedaan antara brix dan pol yaitu, brix diartikan sebagai zat padat terlarut, sedangkan pol merupakan sukrosa terlarut. Brix adalah jumlah zat padat semu yang larut (dalam gr) setiap 100 gr larutan. Jadi misalnya brix nira = 16, artinya bahwa dari 100 gram nira, 16 gram merupakan zat padat terlarut dan 84 gram adalah air. Derajat pol atau pol adalah jumlah gula (dalam gram) yang ada dalam setiap 100 gram larutan yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan polarimeter secara langsung. Jadi menurut pengertian ini jika pol nira = 15, berarti dalam 100 gram larutan nira terdapat gula 15 gram. Selebihnya 85 gram adalah air dan zat terlarut bukan gula. 
Dengan menggunakan metode ISSCT, perhitungan nilai efisiensi diperoleh dari data pengawasan pabrik pada periode ketiga masa giling (lampiran 3). Dari nilai tersebut diperoleh nilai ME sebesar 92,6%, BHR 78,73% dan OR sebesar 72,9% pada data sampai dengan periode ketiga 2012. Nilai ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, 2011, dimana diperoleh nilai ME 92,2%, BHR 76,43%, dan OR 70,46%. Artinya efisiensi PG Wonolangan mengalami peningkatan. Namun dipandang dari nilai standar yang ada (pada tabel), nilai efisiensi PG wonolangan masih berada di bawah nilai efisiensi normal.

Kehilangan gula dapat diketahui dari neraca pol pada data pengawasan pabrik. Sebelum dilakukan upaya menekan kehilangan gula di pabrik, maka perlu diketahui terlebih dahulu pos-pos kehilangan yang mungkin terjadi di pabrik. Secara garis besar terdapat 3 katagori kehilangan gula, yaitu : (1) Kehilangan diketahui, (2) Kehilangan tak diketahui dan (3) Kehilangan tersembunyi. Kehilangan diketahui adalah kehilangan gula yang terjadi dalam proses pabrikasi, yang jumlahnya diketahui karena terukur. Sebagai contoh: kehilangan dalam ampas, blotong dan tetes. Kehilangan dalam tetes merupakan kehilangan terbesar dalam proses pembuatan gula, namun sebagian gula yang hilang masih dapat dikembalikan melalui nilai jual tetes. Kehilangan gula dalam ampas merupakan kehilangan besar kedua karena jumlahnya (bobot ampas) besar, yaitu ampas % tebu sekitar 30-40 %. Kehilangan tak diketahui adalah kehilangan yang jumlahnya tak terukur walaupun penyebabnya diketahui. Menurut penyebabnya, kehilangan tak diketahui dibedakan menjadi : (1) Kehilangan mekanis yaitu kehilangan yang terjadi karena, secara fisik gula keluar dari sistem proses pabrikasi, misalnya karena tumpah/luber, percikan dan lain-lain. (2) Kehilangan khemis yaitu karena, sukrosa berubah menjadi senyawa lain akibat hidrolisis atau dekomposisi. (3) Kehilangan semu, bukan kehilangan sebenarnya, namun terjadi karena kesalahan dalam penimbangan , analisis atau estimasi produk antara. Kehilangan tersembunyi lebih banyak terjadi di sektor tebang angkut, misalnya: penebangan tebu yang belum masak, kerusakan tebu (cane deterioration), inversi dan lain-lain. Kehilangan ini jarang diperhitungkan orang, namun menurut beberapa hasil penelitian angkanya berkisar antara 10-25 % sukrosa yang tersedia dalam batang tebu.

Derajat polarisasi atau pol adalah jumlah gula (dalam gram) yang ada dalam setiap 100 gram larutan yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan polarimeter secara langsung. Dengan menggunakan neraca pol maka kehilangan gula selama proses dapat diketahui melalui pengurangan antara pol dalam nira mentah dengan jumlah dari pol dalam blotong, tetes, hasil gula+sisan, dan jumlah pol perkiraaan. Dari data pengawasan pabrik mengenai neraca pol (terlapir), diketahui jumlah kehilangan gula yang diketahui selama proses  pada periode ketiga masa giling sebesar 33,8 ton pol. Untuk mengkonversi dari ton pol ke satuan ton maka nilai tersebut dikalikan dengan nilai Boiling House Recovery (BHR) dari periode tersebut yaitu sebesar 84,2% sehingga ton gula yang hilang dalam proses sebanyak 28,46 ton (per 15 hari). Kehilangan ini sekitar 1,49% dari gula SHS yang dihasilkan.

Terdapat dua hal yang sangat mempengaruhi efisiensi produksi pabrik tebu yang sangat berkaitan dengan rendemen, yaitu pertama adalah tergantung pada mutu budidaya pasca panen, dan kedua tergantung pada kinerja pabrik (Prawirosemadi, 2011). Sehingga untuk menekan nilai kehilangan pada pabrik gula serta meningkatkan nilai efisiensi produksinya, maka diperlukan peningkatan pada aspek
on farm serta off farm dari produksi gula. Pada aspek pasca panen sangat dipengaruhi oleh baik buruknya perlakuan tebang tebu, penundaan giling, hingga kandungan kotoran dalam tebu. Kotoran dalam tebu selain mempengaruhi rendemen tebu, juga dapat berpengaruh pada keadaan mesin serta efisiensinya. Semakin tinggi kadar kotoran tebu, maka rendemen semakin rendah serta proses produksi kurang maksimal, dan mengakibatkan pada berkurangnya efisiensi produksi. Kinerja pabrik juga mempengaruhi pada tingkat efisiensi produksi. Misalnya keadaan mesin yang terlalu tua akan menurunkan kualitas produksi yang dapat menurunkan efisiensinya. Peningkatan kapasitas giling dengan memperhatikan keadaan mesin juga sangat diperlukan dalam meningkatkan efisiensi pabrik. 

1 komentar:

  1. maaf mbak faiza saya mahasiswa semester akhir sedang meneliti pabrik gula. saya ingin bertanya dimana saya dapat menemukan jurnal mengenai perhitungan Metode ISSCT (International Society of Sugar Cane Technologists) terima kasih mbak mohon tanggapannya ke dico.ilham@gmail.com terima kasih

    BalasHapus