- Formula Hitungan Efisiensi Produksi
Metode ISSCT
(International Society of Sugar Cane Technologists)
§ Mill Extraction
(ME) = Ton Pol Nira Mentah x 100%
§ Boiling House Recovery (BHR) = Ton
Pol GKP x 100%
§ Overall Recovery (OR) = ME x
BHR x 100%
Efisiensi
Produksi
Efisiensi Produksi adalah kemampuan
menghasilkan output pada suatu tingkat kualitas tertentu dengan biaya yang
lebih rendah. Menurut P3GI (1997), salah satu langkah yang perlu ditempuh dalam
pembangunan industri gula adalah melalui peningkatan efisiensi pabrik gula.
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah : (1)
pabrik yang sudah tua, (2) hari giling yang belum optimal, (3) kapasitas giling
yang kurang dari 2.000 ton tebu per hari dan (4) jam berhenti giling yang
tinggi. Sementara menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia (2001), kendala
utama yang dihadapi pabrik gula saat ini adalah : (1) rendahnya kualitas bahan
baku, (2) rendahnya kapasitas sebagian pabrik serta rendahnya efisiensi pabrik
(tingginya jam berhenti dan (3) tingginya biaya produksi
Menurut P3GI (1997), terdapat lima kriteria pokok yang dapat dijadikan pedoman
awal untuk menentukan tidak efisiennya suatu pabrik gula, yaitu :
1. Kesulitan memperoleh lahan.
2. Pengembangan lahan tebu mengarah ke
lahan kering sehingga biaya angkut tebu meningkat.
3. Jumlah produksi gula kurang dari
250.000 kwintal per tahun, sehingga harga pokok per unit hasil
masih mahal.
4. Mutu bahan baku belum optimal
sehingga biaya produksi pabrik gula tidak efisien.
5. Kapasitas giling masih banyak yang
dibawah 2000 ton tebu per hari.
Berdasarkan lima kriteria pokok tersebut terdapat indikasi bahwa efisiensi
pabrik gula Indonesia masih rendah khususnya pabrik gula milik BUMN yang dapat
disebabkan karena biaya produksi gula belum efisien (Sekretariat Dewan Gula
Indonesia, 1997). Dari kelima kriteria tersebut PG Wonolangan temasuk dalam
pabrik gula yang belum cukup memenuhi kriteria efisien. Selain dengan kriteria
tersebut, efisiensi produksi dapat diketahui dengan melakukan perhitungan
efisiensi pabrik.
Dalam proses ekstraksi dan kristalisasi sukrosa di PG yang kemudian
menghasilkan gula pasir dibutuhkan suatu parameter yang bisa dijadikan ukuran apakah proses tersebut sudah berjalan
dengan baik atau belum. Secara keseluruhan ukuran yang digunakan disebut overall
recovery (OR). OR ini mencerminkan efisiensi PG karena menggambarkan jumlah
gula yang bisa diperoleh dari tebu. Overall recovery merupakan hasil
kerja gabungan antara stasiun gilingan dengan stasiun pengolahan. Hasil kerja
stasiun gilingan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dinyatakan dalam mill
extraction (ME), yang menggambarkan persentase gula yang berhasil diekstraksi
dalam nira mentah terhadap gula yang terkandung di dalam tebu. Hasil kerja
stasiun pengolahan dinyatakan dalam boiling house recovery (BHR) yang
mencerminkan persentase gula riil yang diperoleh terhadap gula yang berada
dalam nira mentah. Data pengawasan pabrik dipakai untuk mengetahui
gambaran tentang jumlah gula yang masuk, yang dihasilkan, serta yang hilang
dalam proses. Pada dasarnya terdapat dua macam metode perhitungan efisiensi pabrik,
yaitu dengan metode jawa yang berdasarkan pada nilai brix, dan metode ISSCT
(International Society of Sugar Cane Technologists) yang berdasarkan pada nilai pol.
Adapun perbedaan antara brix dan pol yaitu, brix diartikan sebagai zat padat
terlarut, sedangkan pol merupakan sukrosa terlarut. Brix adalah jumlah zat
padat semu yang larut (dalam gr) setiap 100 gr larutan. Jadi misalnya brix nira
= 16, artinya bahwa dari 100 gram nira, 16 gram merupakan zat padat terlarut
dan 84 gram adalah air. Derajat pol atau pol adalah jumlah gula (dalam gram)
yang ada dalam setiap 100 gram larutan yang diperoleh dari pengukuran dengan
menggunakan polarimeter secara langsung. Jadi menurut pengertian ini jika pol
nira = 15, berarti dalam 100 gram larutan nira terdapat gula 15 gram.
Selebihnya 85 gram adalah air dan zat terlarut bukan gula. Dengan menggunakan
metode ISSCT, perhitungan nilai efisiensi diperoleh dari data pengawasan pabrik
pada periode ketiga masa giling (lampiran 3). Dari nilai tersebut diperoleh
nilai ME sebesar 92,6%, BHR 78,73% dan OR sebesar 72,9% pada data sampai dengan
periode ketiga 2012. Nilai ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya,
2011, dimana diperoleh nilai ME 92,2%, BHR 76,43%, dan OR 70,46%. Artinya
efisiensi PG Wonolangan mengalami peningkatan. Namun dipandang dari nilai
standar yang ada (pada tabel), nilai efisiensi PG wonolangan masih berada di
bawah nilai efisiensi normal.
Kehilangan gula dapat diketahui dari neraca pol pada data pengawasan pabrik.
Sebelum dilakukan upaya menekan kehilangan gula di pabrik, maka perlu diketahui
terlebih dahulu pos-pos kehilangan yang mungkin terjadi di pabrik. Secara garis
besar terdapat 3 katagori kehilangan gula, yaitu : (1) Kehilangan diketahui,
(2) Kehilangan tak diketahui dan (3) Kehilangan tersembunyi. Kehilangan
diketahui adalah kehilangan gula yang terjadi dalam proses pabrikasi, yang
jumlahnya diketahui karena terukur. Sebagai contoh: kehilangan dalam ampas,
blotong dan tetes. Kehilangan dalam tetes merupakan kehilangan terbesar dalam
proses pembuatan gula, namun sebagian gula yang hilang masih dapat dikembalikan
melalui nilai jual tetes. Kehilangan gula dalam ampas merupakan kehilangan
besar kedua karena jumlahnya (bobot ampas) besar, yaitu ampas % tebu sekitar
30-40 %. Kehilangan tak diketahui adalah kehilangan yang jumlahnya tak terukur
walaupun penyebabnya diketahui. Menurut penyebabnya, kehilangan tak diketahui
dibedakan menjadi : (1) Kehilangan mekanis yaitu kehilangan yang terjadi
karena, secara fisik gula keluar dari sistem proses pabrikasi, misalnya karena
tumpah/luber, percikan dan lain-lain. (2) Kehilangan khemis yaitu karena,
sukrosa berubah menjadi senyawa lain akibat hidrolisis atau dekomposisi. (3)
Kehilangan semu, bukan kehilangan sebenarnya, namun terjadi karena kesalahan
dalam penimbangan , analisis atau estimasi produk antara. Kehilangan
tersembunyi lebih banyak terjadi di sektor tebang angkut, misalnya: penebangan
tebu yang belum masak, kerusakan tebu (cane deterioration), inversi dan
lain-lain. Kehilangan ini jarang diperhitungkan orang, namun menurut beberapa
hasil penelitian angkanya berkisar antara 10-25 % sukrosa yang tersedia dalam
batang tebu.
Derajat polarisasi atau pol adalah jumlah gula (dalam gram) yang ada dalam
setiap 100 gram larutan yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan
polarimeter secara langsung. Dengan menggunakan neraca pol maka kehilangan gula
selama proses dapat diketahui melalui pengurangan antara pol dalam nira mentah
dengan jumlah dari pol dalam blotong, tetes, hasil gula+sisan, dan jumlah pol
perkiraaan. Dari data pengawasan pabrik mengenai neraca pol (terlapir),
diketahui jumlah kehilangan gula yang diketahui selama proses pada
periode ketiga masa giling sebesar 33,8 ton pol. Untuk mengkonversi dari ton
pol ke satuan ton maka nilai tersebut dikalikan dengan nilai Boiling House
Recovery (BHR) dari periode tersebut yaitu sebesar 84,2% sehingga ton gula
yang hilang dalam proses sebanyak 28,46 ton (per 15 hari). Kehilangan ini
sekitar 1,49% dari gula SHS yang dihasilkan.
Terdapat dua hal yang sangat mempengaruhi efisiensi produksi pabrik tebu yang
sangat berkaitan dengan rendemen, yaitu pertama adalah tergantung pada mutu
budidaya pasca panen, dan kedua tergantung pada kinerja pabrik (Prawirosemadi,
2011). Sehingga untuk menekan nilai kehilangan pada pabrik gula serta
meningkatkan nilai efisiensi produksinya, maka diperlukan peningkatan pada
aspek on
farm serta off farm dari produksi gula. Pada aspek pasca panen sangat
dipengaruhi oleh baik buruknya perlakuan tebang tebu, penundaan giling, hingga
kandungan kotoran dalam tebu. Kotoran dalam tebu selain mempengaruhi rendemen
tebu, juga dapat berpengaruh pada keadaan mesin serta efisiensinya. Semakin
tinggi kadar kotoran tebu, maka rendemen semakin rendah serta proses produksi
kurang maksimal, dan mengakibatkan pada berkurangnya efisiensi produksi.
Kinerja pabrik juga mempengaruhi pada tingkat efisiensi produksi. Misalnya
keadaan mesin yang terlalu tua akan menurunkan kualitas produksi yang dapat
menurunkan efisiensinya. Peningkatan kapasitas giling dengan memperhatikan
keadaan mesin juga sangat diperlukan dalam meningkatkan efisiensi pabrik.