*********
Tak banyak tau cara menghitung rendemen individu untuk petani
di pabrik gula. Jika dirumuskan rendemen individu diperoleh dari:
[%Brix-0,4(Brix-%Poll)]x FR
%brix dan % pol diperoleh dari pengukuran alat. Titik tekannya,
nilai rendemen yang terlampau tinggi atau rendahnya memang sangat bergantung
dari tanaman tebu yang ditanam. Namun sisi lain yang akan sangat mempengaruhi
nilai rendemen setiap pabrik gula adalah FR (faktor rendemen). Nilai rendemen
yang dihasilkan oleh pabrik gula satu dengan lainnya memang seharusnya berbeda
nilai FR-nya. Faktor rendemen ini telah ditetapkan oleh pemerintah dengan nilai
0,68. Padahal idealnya nilai faktor rendemen ini sangat ditentukan oleh
efisiensi pabrik. Jika demikian, apabila efiensi pabrik di atas nilai FR, maka
otomatis pabrik gula itu akan banyak untung /surplus. Dan untuk pabrik gula
yang tak dapat mencapai nilai efisiensi sebesar nilai FR itulah yang akan membuat
PG yang bersangkutan terus merugi/defisit.
PG dikatakan surplus apabila nilai efisiensi pabriknya lebih
tinggi, yang mengakibatkan rendemen gula % tebu (hasil kristal gula:ton tebu)
nilainya lebih tinggi. Umumnya, kebijakan yang diambil oleh PG surplus ini akan
menabungkan kelebihan gulanya untuk menarik para petani untuk terus memasok
tebunya ketika pasokan tebu di akhir giling semakin menipis. Trik yang
dilakukan dengan cara meningkatkan nilai rendemen individu petani saat pasokan
menipis. Hal ini tentunya akan membuat petani tertarik untuk memasok tebu. Berbeda
dengan PG yang merugi, PG ini justru akan menerapkan kebijakan konyol saja. Karena,
seperti yang diketahui, pabrik gula sangat tergantung dengan adanya pasokan
tebu. PG defisit akan menerapkan kebijakan rugi selamanya. Karena pada dasarnya
mereka tak mampu untuk menabungkan gulanya. Sebaliknya dari PG surplus, PG
defisit memperoleh nilai rendemen gula % tebu yang lebih rendah dibandingkan
dengan rendemen individu. Hal ini lantaran efisiensi produksinya yang kurang
dari 68%. PG defisit hanya mampu menarik petani untuk menjual tebunya dan
parahnya PG defisit ini akan berani membayar dengan harga yang tinggi. Padahal dilihat
dari potensi rendemen yang rendah maka PG defisit akan tetap defisit. Maka sebaiknya
PG defisit segera saja dibubarkan.
Jaminan nilai rendemen minimal tentu
memerlukan penyuluhan yang efektif. Konsep pemberdayaan sangat penting dicanangkan. Kontribusi Litbang pada petani tak cukup hanya memberikan bibit unggul dan
penyuluhan saja. Perlu dicari petani potensial yang punya lahan luas dan mau
menggilingkan tebunya di pabrik gula. Tentu kerja ekstra diperlukan, maka
jalinan kemitraan antara PG dan petani akan semakin kuat, dan kepercayaan
petani pada PG-pun akan meningkat. Kelompok tani yang sudah ada sebaiknya
dikembangkan menjadi dua bagian. Dibuat tahapan cluster. Klasifikasi ini dapat
digolongkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki serta kemauan petani untuk
memajukan industri gula di Indonesia. Cluster tertinggi merupakan golongan
petani potensial yang memiliki lahan tebu luas dan memiliki visi yang kuat
untuk kemajuan pabrik gula. Kewenangan besar di tangan pabrik, kalau perlu ada
kontrak dan pabrik harus berani memberi penghargaan yang mewah untuk kelas ini.
Konsep ini dipandang akan menarik petani tebu untuk terus mengejar prestasinya
menuju cluster tertinggi. Artinya kalau sudah begitu pasokan tebu tak menjadi
kekhawatiran yang mencekam lagi.
Pentingnya usaha pemerintah untuk menertibkan pabrik2 gula
agar tak curi-curian tebu lagi sangat dibutuhkan. Bukan malah menyalahkan
rendemennya kenapa kecil??, atau alatnya mungkin yang rusak. Namun yang penting
diperhatikan adalah efisiensi produksi harus digenjot sembari peningkatan
kualitas budidaya tebu.
mantabb artikel yg baguss
BalasHapus