Rabu, 25 Juli 2012

Gula Tebu #Session 2


*********
Tak banyak tau cara menghitung rendemen individu untuk petani di pabrik gula. Jika dirumuskan rendemen individu diperoleh dari:
[%Brix-0,4(Brix-%Poll)]x FR
%brix dan % pol diperoleh dari pengukuran alat. Titik tekannya, nilai rendemen yang terlampau tinggi atau rendahnya memang sangat bergantung dari tanaman tebu yang ditanam. Namun sisi lain yang akan sangat mempengaruhi nilai rendemen setiap pabrik gula adalah FR (faktor rendemen). Nilai rendemen yang dihasilkan oleh pabrik gula satu dengan lainnya memang seharusnya berbeda nilai FR-nya. Faktor rendemen ini telah ditetapkan oleh pemerintah dengan nilai 0,68. Padahal idealnya nilai faktor rendemen ini sangat ditentukan oleh efisiensi pabrik. Jika demikian, apabila efiensi pabrik di atas nilai FR, maka otomatis pabrik gula itu akan banyak untung /surplus. Dan untuk pabrik gula yang tak dapat mencapai nilai efisiensi sebesar nilai FR itulah yang akan membuat PG yang bersangkutan terus merugi/defisit.
PG dikatakan surplus apabila nilai efisiensi pabriknya lebih tinggi, yang mengakibatkan rendemen gula % tebu (hasil kristal gula:ton tebu) nilainya lebih tinggi. Umumnya, kebijakan yang diambil oleh PG surplus ini akan menabungkan kelebihan gulanya untuk menarik para petani untuk terus memasok tebunya ketika pasokan tebu di akhir giling semakin menipis. Trik yang dilakukan dengan cara meningkatkan nilai rendemen individu petani saat pasokan menipis. Hal ini tentunya akan membuat petani tertarik untuk memasok tebu. Berbeda dengan PG yang merugi, PG ini justru akan menerapkan kebijakan konyol saja. Karena, seperti yang diketahui, pabrik gula sangat tergantung dengan adanya pasokan tebu. PG defisit akan menerapkan kebijakan rugi selamanya. Karena pada dasarnya mereka tak mampu untuk menabungkan gulanya. Sebaliknya dari PG surplus, PG defisit memperoleh nilai rendemen gula % tebu yang lebih rendah dibandingkan dengan rendemen individu. Hal ini lantaran efisiensi produksinya yang kurang dari 68%. PG defisit hanya mampu menarik petani untuk menjual tebunya dan parahnya PG defisit ini akan berani membayar dengan harga yang tinggi. Padahal dilihat dari potensi rendemen yang rendah maka PG defisit akan tetap defisit. Maka sebaiknya PG defisit segera saja dibubarkan.
Jaminan nilai rendemen minimal tentu memerlukan penyuluhan yang efektif. Konsep pemberdayaan sangat penting dicanangkan. Kontribusi Litbang pada petani tak  cukup hanya memberikan bibit unggul dan penyuluhan saja. Perlu dicari petani potensial yang punya lahan luas dan mau menggilingkan tebunya di pabrik gula. Tentu kerja ekstra diperlukan, maka jalinan kemitraan antara PG dan petani akan semakin kuat, dan kepercayaan petani pada PG-pun akan meningkat. Kelompok tani yang sudah ada sebaiknya dikembangkan menjadi dua bagian. Dibuat tahapan cluster. Klasifikasi ini dapat digolongkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki serta kemauan petani untuk memajukan industri gula di Indonesia. Cluster tertinggi merupakan golongan petani potensial yang memiliki lahan tebu luas dan memiliki visi yang kuat untuk kemajuan pabrik gula. Kewenangan besar di tangan pabrik, kalau perlu ada kontrak dan pabrik harus berani memberi penghargaan yang mewah untuk kelas ini. Konsep ini dipandang akan menarik petani tebu untuk terus mengejar prestasinya menuju cluster tertinggi. Artinya kalau sudah begitu pasokan tebu tak menjadi kekhawatiran yang mencekam lagi.
Pentingnya usaha pemerintah untuk menertibkan pabrik2 gula agar tak curi-curian tebu lagi sangat dibutuhkan. Bukan malah menyalahkan rendemennya kenapa kecil??, atau alatnya mungkin yang rusak. Namun yang penting diperhatikan adalah efisiensi produksi harus digenjot sembari peningkatan kualitas budidaya tebu.

1 komentar: