Rabu, 25 Juli 2012

Gula Tebu #Session 1



Gula tebu atau yang lebih dikenal dengan nama gula pasir merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gula pasir senantiasa meningkat. Meningkatnya konsumsi gula tiap tahun disebabkan oleh peningkatan pertambahan penduduk, dan bertambahnya industri yang memerlukan bahan baku gula. Rata-rata konsumsi gula pada jangka waktu lima belas tahun terakhir (1991 sampai 2005) mengalami peningkatan sebesar 1,43 % setiap tahunnya. (Maria, 2009). Seiring dengan permintaan gula pasir di pasaran yang meningkat, industri gula di Indonesia dituntut untuk meningkatkan produktifitas dan meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Hal ini bertujuan agar produk lokal dapat bersaing dengan produk impor sehingga impor gula dapat ditekan. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir (1991 sampai 2005), produksi gula dalam negeri hanya mampu mencukupi 67,02 % kebutuhan konsumsi nasional, bahkan mulai tahun 1988 sampai tahun 2003 produksi hanya 50 % dari total konsumsi. Dengan demikian masih memerlukan impor gula sekitar 33 % untuk mencukupi konsumsi nasional (Maria, 2009).

Banyaknya permasalahan di Pabrik Gula (PG) terutama masalah menejemen yang kurang baik akan sangat mempengaruhi pencapaian hasil gula yang diperoleh. Sebaran luas lahan milik PG dari total persediaan lahan tebu di Indonesia banyak dikuasai oleh petani (rakyat). Besarnya lahan yang dimiliki oleh petani akan sangat mempengaruhi keberlangsungan produksi gula. Apabila dalam perdagangan konsumen adalah raja, maka dalam produksi gula, petani yang merupakan raja. Hal ini karena PG sangat bergantung dengan pasokan tebu dari petani.

Rendemen merupakan rasio antara output dengan input yang termasuk hal sentral dalam pabrik gula. Adanya isu-isu bahwasannya PG mempermainkan rendemen petani lantaran kecilnya rendemen yang diberikan kepada petani perlu ditelusuri kebenarannya. Rendemen akan menjadi dasar pembagian hasil gula dan keuntungan yang diperoleh petani setelah digiling.  Budidaya tebu pra-panen menjadi factor yang sangat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai rendemen yang diperoleh. Karena pada prinsipnya gula bukan dibuat di pabrik gula, namun di ladang tebu. Pada dasarnya, untuk menghitung rendemen pabrik gula secara individu setiap petani yang datang untuk menggiling tebunya, tak perlu menunggu hasil gula yang diperoleh setelah digiling. Namun rendemen individu ini dapat diketahui melalui perhitungan dengan mencari nilai persen brix dan persen polarisasi dari nira perahan pertama pada stasiun penggilingan. Nilai ini yang selanjutnya dapat digunakan untuk memperoleh nilai rendemen individu.  

Rendahnya pemahaman petani mengenai aspek budidaya tebu yang nantinya akan mempengaruhi gula yang diperoleh.  Tak bisa dielakkan lagi kebutuhan tebu pabrik gula di Indonesia sangat bergantung pada pasokan dari petani. Artinya apabila rendemen petani rendah, maka secara otomatis hasil gula yang diperoleh masih rendah. Untuk memenuhi kekurangan pasokan gula dalam negri, pemerintah terpaksa mengimpor gula dari luar. Pentingnya mencari cara agar dapat menghindari pasokan impor gula ini tentu sangat diperlukan. Setidaknya pasokan impor dapat dikurangi secara signifikan apabila seluruh pabrik gula kompak mengadakan program peningkatan rendemen dan efisiensi produksinya.

Karena pada dasarnya gula diciptakan di ladang tebu bukan di pabrik, tentu factor ini sangat tinggi pengaruhnya. Rendemen petani yang ada dari fakta PG Wonolangan probolinggo hanya memiliki nilai rata-rata 6 hingga di bawah 8. Sementara hasil rendemen tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula sendiri dapat mencapai angka 9. Perbedaan rendemen ini tentunya mengakibatkan kesenjangan social antara petani dan pabrik gula. Kebutuhan bahan baku potensial berada di tangan petani, maka menjadi malapetaka besar bagi pabrik gula apabila petani-petani ini tidak lagi menginginkan menanam tebu lantaran rendemen yang diberikan PG sangat kecil atau pun tanam komoditi lainnya lebih menguntungkan. Padahal secara nyata memang cara budidaya PG dan petani sangat berbeda yang membuat perbedaan jauh nilai rendemen ini. Dalam pabrik gula, secara structural memiliki bagian Litbang yang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan sehingga tebu yang diperoleh memenuhi syarat layak tebang dan MBS.

Jaminan nilai rendemen minimum yang diberikan pabrik gula kepada petani memang akan membantu efektifitas kinerja pabrik untuk menjaga efisiensinya. Namun cara ini dinilai belum sepenuhnya efektif karena pada kenyataannya petani masih belum fair menyetorkan tebunya dalam keadaan MBS (Manis, Bersih, dan Segar). Tebu yang dikirim ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Bukan tercampur dengan pucuk-pucuknya, tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar, yang  fresh from the field. Tebu dikatakan segar bila tenggang waktu tebu tersebut ditebang sampai digiling tidak lebih dari 36 jam.  Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah tebu yang sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan (diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar gulanya.


Masih banyaknya petani yang menyerahkan tebunya untuk digiling dalam keadaan kotor dan mementingkan berat tebu dengan mengikutkan pucukan bahkan sampai akar-akarnya bukan saja malah menurunkan nilai rendemen gula yang dihasilkan lantaran gula yang digiling banyak ikut ke dalam ampas tebu. Masalah ini menunjukan bahwa belum fahamnya petani mengenai apa sebenarnya rendemen dan cara menjaganya. Maka lantas apa kontribusi Litbang secara nyata untuk petani?? Tentu tak hanya penting untuk memberikan subsidi bibit unggul saja. 

++++Go to Session 2++++

Gula Tebu #Session 2


*********
Tak banyak tau cara menghitung rendemen individu untuk petani di pabrik gula. Jika dirumuskan rendemen individu diperoleh dari:
[%Brix-0,4(Brix-%Poll)]x FR
%brix dan % pol diperoleh dari pengukuran alat. Titik tekannya, nilai rendemen yang terlampau tinggi atau rendahnya memang sangat bergantung dari tanaman tebu yang ditanam. Namun sisi lain yang akan sangat mempengaruhi nilai rendemen setiap pabrik gula adalah FR (faktor rendemen). Nilai rendemen yang dihasilkan oleh pabrik gula satu dengan lainnya memang seharusnya berbeda nilai FR-nya. Faktor rendemen ini telah ditetapkan oleh pemerintah dengan nilai 0,68. Padahal idealnya nilai faktor rendemen ini sangat ditentukan oleh efisiensi pabrik. Jika demikian, apabila efiensi pabrik di atas nilai FR, maka otomatis pabrik gula itu akan banyak untung /surplus. Dan untuk pabrik gula yang tak dapat mencapai nilai efisiensi sebesar nilai FR itulah yang akan membuat PG yang bersangkutan terus merugi/defisit.
PG dikatakan surplus apabila nilai efisiensi pabriknya lebih tinggi, yang mengakibatkan rendemen gula % tebu (hasil kristal gula:ton tebu) nilainya lebih tinggi. Umumnya, kebijakan yang diambil oleh PG surplus ini akan menabungkan kelebihan gulanya untuk menarik para petani untuk terus memasok tebunya ketika pasokan tebu di akhir giling semakin menipis. Trik yang dilakukan dengan cara meningkatkan nilai rendemen individu petani saat pasokan menipis. Hal ini tentunya akan membuat petani tertarik untuk memasok tebu. Berbeda dengan PG yang merugi, PG ini justru akan menerapkan kebijakan konyol saja. Karena, seperti yang diketahui, pabrik gula sangat tergantung dengan adanya pasokan tebu. PG defisit akan menerapkan kebijakan rugi selamanya. Karena pada dasarnya mereka tak mampu untuk menabungkan gulanya. Sebaliknya dari PG surplus, PG defisit memperoleh nilai rendemen gula % tebu yang lebih rendah dibandingkan dengan rendemen individu. Hal ini lantaran efisiensi produksinya yang kurang dari 68%. PG defisit hanya mampu menarik petani untuk menjual tebunya dan parahnya PG defisit ini akan berani membayar dengan harga yang tinggi. Padahal dilihat dari potensi rendemen yang rendah maka PG defisit akan tetap defisit. Maka sebaiknya PG defisit segera saja dibubarkan.
Jaminan nilai rendemen minimal tentu memerlukan penyuluhan yang efektif. Konsep pemberdayaan sangat penting dicanangkan. Kontribusi Litbang pada petani tak  cukup hanya memberikan bibit unggul dan penyuluhan saja. Perlu dicari petani potensial yang punya lahan luas dan mau menggilingkan tebunya di pabrik gula. Tentu kerja ekstra diperlukan, maka jalinan kemitraan antara PG dan petani akan semakin kuat, dan kepercayaan petani pada PG-pun akan meningkat. Kelompok tani yang sudah ada sebaiknya dikembangkan menjadi dua bagian. Dibuat tahapan cluster. Klasifikasi ini dapat digolongkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki serta kemauan petani untuk memajukan industri gula di Indonesia. Cluster tertinggi merupakan golongan petani potensial yang memiliki lahan tebu luas dan memiliki visi yang kuat untuk kemajuan pabrik gula. Kewenangan besar di tangan pabrik, kalau perlu ada kontrak dan pabrik harus berani memberi penghargaan yang mewah untuk kelas ini. Konsep ini dipandang akan menarik petani tebu untuk terus mengejar prestasinya menuju cluster tertinggi. Artinya kalau sudah begitu pasokan tebu tak menjadi kekhawatiran yang mencekam lagi.
Pentingnya usaha pemerintah untuk menertibkan pabrik2 gula agar tak curi-curian tebu lagi sangat dibutuhkan. Bukan malah menyalahkan rendemennya kenapa kecil??, atau alatnya mungkin yang rusak. Namun yang penting diperhatikan adalah efisiensi produksi harus digenjot sembari peningkatan kualitas budidaya tebu.

Minggu, 15 Juli 2012

Menunggu gugurnya 5 Musuh…


Menunggu gugurnya 5 Musuh…
Masih ingat catatan tapak jejak pimpinan teratas di organisasi qt?? Hhehe… sudah masa akhir,,, harapan yang tercatat di catatan-ku itu tak bisa lagi terwujud. Dan tentunya takperlu dibahas ulang sesuatu yang membuat saya pribadi “sesak”. Terus smangat memberi yang terbaik buat kluarga kita… masih banyak tantangan rupanya skalipun sudah di akhir juang…

Hmm… saatnya melakukan pembunuhan akhir pada tugas/amanah yang kita emban. “Musuh” kita yang paling mantaff ini adalah LPJ. Iya “Laporan Pertanggung Jawaban”… bagi pemimpin yang “faham” mudah skali menyelesaikan semua dengan cepat tanpa perlu ditanya bahkan disuruh. Kreatif itu muncul tatkala hati kita sudah ikhlas dan nyaman menjalankan tugas yang dulunya kita ikrarkan…

“Setiap seseorang adalah Pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya”. Sekejap kata itu terasa sederhana, bagi yang belum bisa memaknai lebih dalam… Rupanya pertanggungjawaban itu hadir setelah masa bakti berakhir. Lantas, bukankah hal ini yang harusnya lebih berat dibanding masa awal kita mengemban amanah sebagai “pengurus”??




Tak jarang orang yang sadar dan tanggap susahnya pengurusan administrasi (terutama di keluarga kita). Ketua bilang “No administration No organization”. LPJ tak cukup hanya dituangkan dalam bentuk action dan kata2, dalam bentuk administrasi yang rapih-lah pertanggungjawaban itu menjadi hal yang berarti dan bermanfaat bagi kepengurusan selanjutnya. Maka LPJ merupakan amanah sebelum kita lulus menjadi pengurus.

Musuh akhir ini ternyata menyabang menjadi lima, musuh nomor 1 LPJ BPH, musuh nomor 2, LPJ PSDM, musuh nomor 3 LPJ KOMINFO, musuh nomor LPJ SOSLING, dan yang terakhir musuh nomor 5 adalah LPJ MIKAT.

Musuh nomor 1 hampir bisa dikendalikan oleh sahabat sekertaris, bendahara, dan wakil ketua… hanya saja ketua yang belum setor, belum kasih kabar, dan belum pernah menanyakan kabar. Nampaknya kesibukan ketua membuatnya lupa ingatan akan musuh yang nomor satu ini. Padahal tugas besar beliau yang memegang peran ini semua…  tanda “Dangerious” udah disampaikan, tapi kayaknya belum juga ada reaksi yang nyata.
Saya pibadi memohon maaf kepada smua pihak yang pernah saya tagih lpj-nya. Yang mungkin ada kata yang kurang sopan atau tak berkenan. Apa susahnya menjawab pertanyaan progresnya gmn?” atau kendalanya apa?””. Hanya saya sadari tingkat emosional saya yang kurang terkendalikan. Dan mungkin payahnya kita sebagai data collector (Sek-Ben) yang harus sering control dan koreksi dari masing2 musuh besar kita.
Well, dilanjutkan…

Musuh yang ke 2 sangat progressif… terimakasih setinggi-tingginya, kami selaku sek-bend umum atas kerjasama yang cepat dan tanggap sahabat psdm… musuh yang ini sebentar lagi akan dinyatakan gugur, hanya menunggu perkembangan laporan keuangan…

Musuh ketiga yang masih bingung dengan majalah-nya juga menunggu gugurnya. Karena hanya 3 program kerja, namun masih banyak tugas yang belum ada perkembangannya, terutama majalah… ada tidaknya majalah sangat bergantung dengan deadline, jika yang mengurusinya tidak mematuhi deadline yang telah ditetapkan, secara darurat majalah kedua kita batal terbit… smangat terus untuk kominfo.

Musuh ke-4 dan ke-5 masih butuh menguras banyak keringat… kedua musuh ini selain programnya paling banyak, administrasinya juga paling “kacau”. Musuh ke-4 baru menaklukan 2 dari 8 prajurit musuhnya. Sementara musuh ke-5 baru satu dari 12 prajurit musuh yang ditaklukan. Lantas apa yang harus kami lakukan sebagai sek-bend kalau keadaan genting seperti ini??? 
Hanya semangat sahabat kadept yang bisa mengirimkan bala tentara untuk menggugurkan musuh besar kita… kami dari sek-bend juga akan ikut membantu menyusun strategi perang dengan bantu control langsung dan koreksi. Yang diharapkan agar sahabat bisa mengerti akan kehausan kami tentang informasi di medan perang. Mohon diberi perkembangannya dan kendala yang bisa kami bantu….

Dan akhirnya, saya pribadi memohon maaf untuk kata2 yang kurang berkenan, dari kami, sek-bend, sangat berterimakasih bagi sahabat yang mau membaca dan memahami “kegentingan” ini. Harapan saya pribadi selaku penulis tak ingin kepengurusan selanjutnya merasakan kegentingan ini. Untuk sahabat amilin, fadholi, fera, ghaida, ana, dan eneng, yang saya yakin kalian semua punya smangat juang yang kuat untuk keluarga kita ini. Harapannya, percepat pembuatan RKAT, dan jangan lupa usahakan ada pembahasan langsung pimpinan ke pak qoyim atau Pembina kita, jangan hanya setor draft RKAT ke rektorat. Agar prosesnya cepat dan informasi yang disalurkan dan yang diterima lebih mantap. Sebulan setelah fix RKAT semua PJ dari setiap kegiatan sebaiknya diharuskan selesai membuat proposalnya, terutama BPH. Kecuali kegiatan yang besar, buat tim inti dulu untuk pematangan konsep selanjutnya buat timeline yang pas. Dan harapan saya setelah proposal selesai sek-bend focus ke press release dan LPJ serta control departemen.

Bukan bermaksud lain, Hanya harapan besar saya ingin melihat CSS melebarkan sayapnya untuk lebih baik dari sebelumnya dan bisa mengambil banyak hikmah dari kepengurusan ini saja yang menjadi smangat saya untuk menuliskan semua ini…
***Salam Satu Hati CSS MoRA Bersinergi…